Hai kamu.
Mungkin kamu akan tertawa saat membaca
tulisanku ini.
Mungkin kamu tidak akan mau meneruskan
bait-bait selanjutnya.
Aku tidak memaksa ataupun meminta,
bukankah ini hanya jemari tanganmu yang lincah untuk menekan mouse dengan ujung
jarimu kepada link ini?
Coba baca dan resapi apa yang aku tuliskan
disini.
Aku serius, bukan bercanda.
Pernahkah kau membayangkan menjadi diriku?
Yang hanya seorang penggemar rahasia dari
seorang yang lain.
Kau yang begitu aku puja dan aku kagumi.
Kau yang selalu mengisi hari-hariku tanpa pernah absen.
Meski hanya didalam pikiranku saja.
Miris.
Biar, biarkan saja aku menyendiri dalam
hari sepiku.
Ditemani bayang-bayang dirimu yang selalu
aku dambakan.
Melihatmu saja, aku sudah merasa cukup.
Cukup bahagia sebagai seorang penggemar rahasia.
Tapi...
Tunggu dulu, sepertinya aku tak hanya
menjadikanmu sebagai idola dan menafsirkan diriku sebagai penggemar beratmu.
Aku tak tahu ini apa, tapi batasan-batasan
sebagai seorang fans begitu sulit untuk aku hindari jika untukmu.
Mungkinkah aku hanya sebatas penggemar?
Atau mungkin tidak.
Ya, aku telah jatuh cinta dengan seseorang
yang bernama itu.
Seseorang yang begitu aku kagumi.
Seseorang yang begitu aku inginkan untuk menemani hari-hariku.
Mencari tahu apa yang kau lakukan, apa
hobimu, apa yang kau sukai apa yang tidak kau sukai.
Begitulah kegiatanku sehari-hari. Memantau
dirimu yang mungkin tak pernah menganggapku ada. Mungkin.
Dengan bodoh, aku ikuti semua kegiatanmu
dengan satu tujuan. Dekat denganmu.
Sederhana bukan?
Ya, kecintaanku padamu telah membutakan
pikiranku untuk menatap sesuatu secara nyata. Memikirkan sesuatu dengan
realitas.
Hingga...
Kita dapat dekat satu sama lain.
Pesan singkat yang kau kirimkan beberapa
hari yang lalu, seolah menjadi saksi kedekatan kita.
Pesan singkat yang kau kirimkan, yang
sengaja aku simpan untuk kubaca pada malam hari sebelum ku beranjak tidur.
Sembari berharap, tuhan akan memberikanku mimpi berdua denganmu.
Aku tak pernah tahu apa ini sebelumnya
perasaan semacam apakah ini. Tapi semakin bergulirnya waktu, aku menyadari ini
sebuah cinta. Jatuh cinta yang aku rasakan seorang diri. Yang aku rahasiakan
bersama tuhan.
Aku terlena, pada perhatianmu. Pada dirimu
yang aku inginkan masuk kedalam hari-hariku.
Pesan singkat yang kau kirimkan kepadaku
lebih dulu, telah membuatku bergantung harapan padamu. Berharap kedekatan ini
akan memberikan perubahan status pada kita. Aku bahagia karena pada akhirnya
aku berpikir cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Aku bahagia, dirimu tak
secuek yang aku bayangkan....dulu.
Aku telah banyak berharap kepadamu. Kau
yang perhatian kepadaku telah aku anggap sebagai batu loncatan untuk
mendapatkan status lebih dari teman ini. Tapi, aku salah. Aku telah salah
mengartikan arti kedekatan semua ini. Aku telah terlalu percaya diri hingga aku
membayangkan akan menjadi sepasang kekasih denganmu. Yang akan mengisi
hari-hari dengan tawa canda yang lepas, dan bahagia.
Aku telah terlalu berharap. Perhatianku
yang jarang kuberikan pada orang lain, aku berikan kepadamu seutuhnya.
Kepedulianku kepada sesama yang tergolong
minim, kucurahkan kepadamu utuh.
Namun, kau tak menggubrisnya sama sekali.
Tak pernah menganggap perhatianku secara nyata. Menganggap semua ini hanya
lelucon.
Atau, kau tak menyadari keberadaanku.
Kehadiranku yang selalu mewarnai hari-harimu. Sepertinya.
Apakah dirimu seberapa peka terhadap
wanita, hingga kau tak dapat mengenali perasaanku yang kian liar ini?
Apakah kau tak bisa membaca sinyal-sinyal
ketertarikanku padamu?
Kekasihku yang selum sempat untuk
kumiliki, apakah mungkin kau tak memahami perasaanku?
Pernahkah kau membayangkan, merasakan,
bagaimana menjadi seorang aku?
Yang hanya menuggu tanpa tahu kapan
penantian itu akan berakhir.
Apakah berakhir bahagia atau sendu.
Miris.
Saat pertama kali kita bercakap, aku tak
pernah lupa saat itu. Saat-saat membahagiakan yang aku tahu saat itu. Mata
teduhmu itu, yang membuatku terpesona.
Mata teduh yang membuatku percaya, akan
ada akhir bcerita bahagia diantara kau dan.... Aku.
Tapi, kenyataan menyela. Harapanku untuk
dapat bersama pemilik mata teduh itu terlalu tinggi.
Terlalu tinggi untuk digapai seorang
diriku
Perkenalan yang manis, seolah tak
menandakan perpisahan meyakinkanku.
Bodoh.
Sungguh bodoh diriku.
Semuanya telah berakhir. Tanpa kata
selamat tinggal. Tanpa perpisahan.
Tanpa kau mengetahui perasaanku, padamu.
Semua terasa percuma. Semua terasa
sia-sia.
Kau telah menyandingkan dirimu dengan
seorang gadis lain. Bukan aku.
Yang nampaknya lebih baik dari aku.
Setelah ini semua, apakah kau pernah
menelisik perasaanku. Apakah kau tak merasa ada perasaan yang aneh menyusupi
diri kita masing-masing
Dulu, kau sering mengirimkan pesan
singkatmu kepadaku. Meski tanpa ada status, tanpa ada kejelasan hubungan apa yang
telah kita jalin. Meski teersebar gosip sana-sini tentang kau dan aku. Sebegitu
hebohnya.
Dan kau melupakan semuanya.
Menjauh tanpa sebab yang jelas, menghindar
dengan semua cara yang dapat kau lakukan.
Naif.
Sekarang kau bersama seseorang yang kau
anggap pantas bersanding dengamu.
Sekarang, kau nampak bahagia bersama dirinya.
Meskipun aku tidak.
Tentu saja.
Itu berarti, aku harus merelakanmu untuk
dia. Sekarang juga!
Hari-hari yang pernah kulewati bersamamu,
dengan iringan pesan singkatmu.
Kini harus berbalaskan.
melihamu berdua dengan yang lain.
Kini, tiap hari mati-matian aku meyakinkan
diriku sendiri, kau bukan milikku. Kau bukan untukku.
Selesai sudah cerita kita tanpa ddiriku
yang berharap terlalu tinggi.
Tuhan. Jika aku boleh meminta.
Aku akan meminta satu hal yang satu ini.
Egois memang, tapi tak dapat dipungkiri
aku begitu menginginkannya.
Tapi, aku tahu.
Aku tak ingin merengek kepada Tuhan
seperti minta dibelikan kembang gula pada waktu kecil.
Tapi, mungkin ada pilihan yang lebih baik
yang akan aku ajukan kepada tuhan.
Tuhan, jika aku boleh meminta...
Aku tak ingin mengenal laki-laki itu. Aku
tak ingin menatap mata teduh itu, meski aku sangat mengaguminya...kala itu.
Karena, jika seperti itu. Tentu rasa sakit
yang kurasakan sekarang ini tentu akan lebih sdikit dan lebih mudah untuk
melaluinya
Tiap hari, aku melihatmu dengan dia.
Berjalan kesana kemari dengan tatapan hangat. Dengan sorotan dari mata teduh
yang begitu aku kagu mi.
Tiap hari, aku meyakinkan diriku untuk
baik-baik saja.
Baik-baik saja?
Bodoh rasanya jika aku menganggap perasaan
tersakiti ini baik-baik saja.
Melihatmu menggenggam jemarinya, membuatku
tak tahan untuk meneteskan air mata...yang berharga.
Sangat sulit bagiku, melihatmu dan
menerima kenyataan ini.
Terkadang, tak kupungkiri...
Aku menginginkan kalian putus hubungan dan
berakhir seperti dulu.
Aku egois? Tak salah kan.
Aku tahu aku egois. Tapi, apakah kau mampu
menahan semuanya saat kau terus-terusan melihat yang kau cintai setengah mati
memilih berdua dengan yang lain.
Seandainya kau dapat menelisik hatiku.
Membaca tiap gerakku. Mengetahui isi pikiranku.
Mungkin tak akan seperti ini. Mungkin kau
akan luluh dan mencairkan hatimu yang membeku seperti bongkahan es raksasa.
Tapi itu hanya mungkin. Kata yang tak berarti apa-apa pada kenyataannya. Dan
hanya membuatku menambah pilu.
Apakah kau tahu, ketika aku menuliskan ini
semua...
Aku tak lagi mampu menahan air mataku yang
berlomba-lomba untuk keluar.
Mataku mulai memanas, dan aku rasa
cairan-cairan itu mulai keluar dan penglihatanku menjadi kabur.
Kau mungkin saja membaca tulisanku ini
dengan penuh tawa.
Tapi kau tahu, itu jahat.
Kau mungkin hanya menjadikanku tempat
persinggahan, tanpa membuatku menjadi tujuan.
Ya, aku hanyalah tempat persinggahan dirimu
yang lelah oleh kehidupan. Yang tak tahu dimana kau akan berlabuh.
Semoga saja kau tahu, seberapa besar aku
memperjuangkan ini seorang diri...
Meski aku tak terlalu berharap kau akan
mengubah tempatmu berlabuh.
Tapi meski begitu, aku tetap ingin kau
mengetahui perasaanku ini...
Perasaan yang kuat, meski dipenuhi oleh
cucuran air mata, dan harapan tak berujung jelas...
Yang mungkin tak kau temukan dimanapun.
Termasuk kekasihmu itu.
Perasaan...
Yang membuatku nekat memperjuangkan
"kita" seorang diri...
Ps: for you.
0 komentar:
Posting Komentar